Duhai Suamiku sayang, untuk kali ini, izinkan aku
menangisi kita.
Sesuatu yang jarang aku
lakukan, sekalipun kehidupan ekonomi kita begitu beratnya akhir – akhir ini.
Sayang, apa yang salah
pada kita?
Benarkah perasaanku
yang bilang kita terlalu berlumur dosa hingga tidak Allah izinkan rahimku
membesarkan keturunan kita?
Aku mencintaimu, sejak
pertama, bertahun yang telah lalu, hingga saat ini. Alhamdulillah, tidak
sekalipun rasa cinta itu berkurang, sekalipun kadang kita terlalu naif
menjalani hubungan kita. Sayang, satu persatu, kakak dan adik kita menikah dan
kemudian hamil.
Lalu perasaan jahat itu
muncul. Perasaan iri dan jauh dari syukur. Padahal kamu terus mengajarkan
padaku, bahwa bahkan tiap helaan nafas kita adalah nikmat yang tidak dapat
dibayar. Bahwa dengan pekerjaanmu yang menggunung, sehat adalah anugerah tanpa
batas.
Sayang, dikamarmu kini,
aku menangis. Menangisi dia, anak kita, yang entah kapan Allah takdirkan tumbuh
dan berkembang untuk dilahirkan dengan sehat dan lengkap. Aku membutuhkanmu
sekarang, membutuhkan pundakmu, seperti pagi kemarin ketika tiba – tiba aku
menangis.
Demi Allah, yang
nyawaku ada dalam genggamanNya, aku bahagia, mereka, Kakak – Adik kita hamil terlebih
dahulu. Seolah ada beban setoran yang akhirnya terlunasi untuk kedua pasang
orang tua kita.
Tapi, aku pun tak
sanggup dengan pandangan kasihan dari mereka. Aku hanya berharap akan pandangan cinta dan kasih sayangmu, karena dimasa tua nanti, jika memang kehendak Allah atas kita adalah tanpa keturunan, selamanya kita akan bergenggaman tangan.
Sayang...
Bukankah selama ini,
walau tidak sempurna, kehidupan kita bahagia?
Walau sangat inginnya
kita akan hadirnya anak – anak yang meramaikan rumah kecil kita ?
Ah sayang, perlahan air
mataku mongering, derasnya tidak seperti tadi. Perasaanku penuh, mengingat
janji yang Allah berikan untuk mereka yang bersabar.
Maafkan isterimu yang
terlalu sering mengeluh, jauh dari syukur.
Sayang, lekaslah pulang,
peluk aku dan bisikan lagi sabar ditelingaku, mungkin seringkali aku begitu
bebal hingga bisikan lembutnya seolah semilir angina, atau kadang aku terlalu
keras kepala sehingga semua nasihatmu bagai tidak membekas.
Bersabarlah sedikit
lebih banyak lagi mulai sekarang, bisikan cinta lebih mesra lagi sekarang,
bantu aku melalui masa sulit bernama cemburu.
Wanita yang selalu
mencintaimu, selain ibumu.
Marrisa Syarif Tanjung