Senin, 07 Juli 2014

1 Tahun 6 Bulan 15 Hari

Duhai Suamiku sayang, untuk kali ini, izinkan aku menangisi kita.
Sesuatu yang jarang aku lakukan, sekalipun kehidupan ekonomi kita begitu beratnya akhir – akhir ini.
Sayang, apa yang salah pada kita?
Benarkah perasaanku yang bilang kita terlalu berlumur dosa hingga tidak Allah izinkan rahimku membesarkan keturunan kita?
Aku mencintaimu, sejak pertama, bertahun yang telah lalu, hingga saat ini. Alhamdulillah, tidak sekalipun rasa cinta itu berkurang, sekalipun kadang kita terlalu naif menjalani hubungan kita. Sayang, satu persatu, kakak dan adik kita menikah dan kemudian hamil.

Lalu perasaan jahat itu muncul. Perasaan iri dan jauh dari syukur. Padahal kamu terus mengajarkan padaku, bahwa bahkan tiap helaan nafas kita adalah nikmat yang tidak dapat dibayar. Bahwa dengan pekerjaanmu yang menggunung, sehat adalah anugerah tanpa batas.

Sayang, dikamarmu kini, aku menangis. Menangisi dia, anak kita, yang entah kapan Allah takdirkan tumbuh dan berkembang untuk dilahirkan dengan sehat dan lengkap. Aku membutuhkanmu sekarang, membutuhkan pundakmu, seperti pagi kemarin ketika tiba – tiba aku menangis.

Demi Allah, yang nyawaku ada dalam genggamanNya, aku bahagia, mereka, Kakak – Adik kita hamil terlebih dahulu. Seolah ada beban setoran yang akhirnya terlunasi untuk kedua pasang orang tua kita.

Tapi, aku pun tak sanggup dengan pandangan kasihan dari mereka. Aku hanya berharap akan pandangan cinta dan kasih sayangmu, karena dimasa tua nanti, jika memang kehendak Allah atas kita adalah tanpa keturunan, selamanya kita akan bergenggaman tangan.

Sayang...

Bukankah selama ini, walau tidak sempurna, kehidupan kita bahagia?

Walau sangat inginnya kita akan hadirnya anak – anak yang meramaikan rumah kecil kita ?

Ah sayang, perlahan air mataku mongering, derasnya tidak seperti tadi. Perasaanku penuh, mengingat janji yang Allah berikan untuk mereka yang bersabar.

Maafkan isterimu yang terlalu sering mengeluh, jauh dari syukur.

Sayang, lekaslah pulang, peluk aku dan bisikan lagi sabar ditelingaku, mungkin seringkali aku begitu bebal hingga bisikan lembutnya seolah semilir angina, atau kadang aku terlalu keras kepala sehingga semua nasihatmu bagai tidak membekas.

Bersabarlah sedikit lebih banyak lagi mulai sekarang, bisikan cinta lebih mesra lagi sekarang, bantu aku melalui masa sulit bernama cemburu.

Wanita yang selalu mencintaimu, selain ibumu.


Marrisa Syarif Tanjung