Rabu, 24 Februari 2016

Ketika Icha Muak

Bismillah...
Icha lagi hidup dalam perasaan sebel sampai ubun-ubun yang ga bisa dituangkan dengan bebas.

Sejak ketidak sengajaan nabrak nenek-nenek di komplek korem, Serang, Banten, itu keluarga nenek yang menatang-menatang tentara terus meneror.

Pertama kali datang ke Pak Haji di Baros (mereka loh yang mau dibawa kesana), Pak ahaji sudah bilang yg patah cuma tangannya, kakinya cuma memar, ga ada yang patah. Nah, pegangan Icha itu dong.

Pengobatan ke 3, Pak Haji bilang, pengobatan 2-3 kali lagi. Yang ternyata pas pengobatan ke -5, itu nenek udah bisa dinyayakan sembuh. Selama itu, setiap Jumat, suami rutin mengantar uang berobat, karena Icha ga dapat izin untuk keluar dari sekolah setiap pekan, suami juga kerja setiap senin-sabtu. Kita kasih uang lepas gitu aja, percaya aja. Pasrah, mau dipakai buat apa kek, yang penting udah 5 kali ngasih uang berobat.

Memasuki pekan ke-6, kita berhentilah ngasih uang ke keluarga nenek itu. Sejak saat itu teror dimulai.

Jelas-jelas Icha bilang, sudah ga ada uang, sudah ga bisa cari pinjaman (hey, gaji Icha itu cuma 1,2 sedang 1 bulan total sudah ngeluarin uang 2 juta, klo itungan pait, gaji Icha habis total buat kesana, ga ada makan n bensin, semua bergantung dari gaji suami).

Tapi mereka ga mau ngerti.

Maka, Icha mulai meng-ignore semua sms, telepon dll (yang hebatnya, ini keluarga setiap pekan selalu ganti nomor telepon, keren banget kan).

Karena dipikiran Icha, lah kan udah mau dibawa ke hukum, ya udah, ga usah komunikasi lagi lah, langsung aja ketemu di polsek terdekat dan katanya mau bawain aparat ke sekolahan Icha.

Bukan nantangin, bukan, tapi bete luar biasa, udah begitu masih juga dikata2in ga tanggung jawab amat sih, jangan coba2 sama saya, dll.

Awal sih tertekan, tapi lama kelamaan malah ya udah, prinsipnya, selama tidak dengan sengaja membunuh orang, melakukan tindakan abnormal, Icha dipenjara itu masuk ke hitungan takdir, ga minat juga menghibur diri dengan kata-kata, ada hadiah apa ya dibalik badai ini.

Udah jalanin aja, entah dipenjara, atau dibunuh dipinggir jalan, apapun yang terjadi saya mau menghadapinya. 75% motifnya adalah saya sudah muak, dan saya tidak berminat memberi sepeserpun lagi dari usaha saya setelah semua sms dan teror (ya eyalah teror, masa nelpon jam 12 malam).

Kalau harus mati karena ini, atau dipenjara atas ini, saya pasrah.

Rumah setengah jadi, 24 Februari 2016
20:34

Selasa, 02 Februari 2016

Rumah Setengah Jadi, Hujan, dan Kucing

Sore ini, sepulang sekolah, Memong -Kucing yang sudah 4 bulan ini kami adopsi- mengeong keras dari ruang tamu. Menunggu pintu terbuka. Teringat jelas, 5 hari lalu, saat kunci rumah hilang, Memong sampai memanjat teralis jendela rumah kami untuk sekedar melihat Icha yang tidak juga masuk walau sudah lama parkir.

Hujan menghalangi keinginan Memong untuk berlari ke depan rumah dan melakukan ritual mengelilingi motor atau sekedar duduk diteras rumah.

Icha segera menangkapnya dan membawanya keteras agar terpercik air hujan dan kemudian terpingkal melihat Memong menyerbu masuk tidak sampai sedetik kemudian.

Menaruh semua pakaian basah ditempat baju kotor, lalu refleks ke kamar bbelakang dan membersihkan muka.

Icha tersadar, sudah hampir beberapa minggu begitu cuek dengan muka yang kusam pulang dari sekolah.

Sambil berdiri depan kaca, mata Icha melihat melalui cermin ke jendela kamar belakang, sejak pindah seminggu lalu, pintu belakang tidak pernah dibuka. Sekedar jengah dan bikin stres melihat rencana membuat dapur di lahan itu berantakan.

Sore ini, sambil memandang ke lahan dibelakang rumah, Icha dan Memong sama - sama sibuk dalam pikiran masing - masing. Sang Manusia, Icha, sedang merenungi, apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup kami saat ini.

Sampai tanggal 12 Januari 2016, kehidupan begitu sempurna untuk keluarga kecil Icha, rumah yang sedang dibangun, kucing kecil yang berlarian disekitar kami, rejeki yang lancar, kesehatan yang normal. Semua sempurna.

Dalam sekejap, Allah membalikkannya, sejak saat itu, sejak tidak sengaja menabrak nenek - nenek itu, kehidupan begitu membuat sesak. Tiap pekan, Icha harus mengeluarkan setengah juta untuk nenek itu. Entah sampai kapan.

Rumah sekedar menjadi rumah setengah jadi, rumah yang tidak akan membuat Icha mengundang siapapun kerumah ini hingga siap. Tapi sengaja mengundang keluarga icha dan Mas Eka sebagai pertanggung jawaban atas keteledoran kami mengambil keputusan.

Di ambang pintu belakang, Icha menaruh harap akan rencana indah hadiah dari Allah atas semua ini. Sejujurnya, cobaan kebelakang kemarin, benar - benar menghantam Icha saat itu. Walau begitu, sejak sakit kemarin Icha seolah me-recharge diri lagi. Ternyata sakit memberikan banyak waktu untuk Icha merasa sendiri, merasa butuh.

Di pintu belakang rumah setengah jadi, Icha melirik ke arah Memong yang sibuk memperhatikan hujan yang turun. Merasa bahagia memiliki Mas Eka, Memong, Ajo Aish, Mama, dan Daffi.

Walau apa yang terjadi, Icha merasa sangat beruntung memiliki dan dimiliki oleh orang - orang -dan kucing- yang terus mendukung walau semua terasa begitu berat.

Di pintu belakang rumah setengah jadi, maka tidak salah yang Icha minta pada Allah diawal semua ini terjadi, kesabaran, kesyukuran, karena itu yang Icha butuhkan.

Di pintu belakang rumah setengah jadi, tiba - tiba tersenyum dan merasa bodoh karena merasa tertekan dengan semua yang sedang dan telah terjadi, padahal belum seberapa dibanding banyak manusia yang lain.


Serang, Rumah Setengah Jadi
02 02 2016 16:15

Marrisa Syarif Tanjung