Rasanya ingin memuaskan
diri dengan menangis sekencang mungkin, tapi, tiap kali itu pula teringat bahwa
menjatuhkan air mata akan memberatkan papa tercinta disana.
Duka ini akan menumpuk
terus di hati.
Luka, sedih, sakit dan
kehilangan.
Tapi ini yang akan kami
hadapi.
Kemarin Ajo Aish WA
Icha, bercerita tentang mimpi beberapa kerabat yang didatangi Papa dengan pesan
yang nyaris sama, agar mama tidak terlalu bersedih, tidak terlalu berpikiran
yang berat. Agar Aish menjaga mimpi dan cita – cita Daffi.
Satu pertanyaan yang
terselip, kenapa bukan kami?
Kami amat
merindukannya, berharap ada sekelebat harapan akan Papa. Mencari kenangan Papa
ditiap cerita kerabat. Tentang masa lalu yang membuat dada seketika sesak.
Kami merindukannya.
Icha merindukan Papa.
Rindu bercerita disore
hari setiap pulang kerumah Mama. Bertiga dikamar mama, bercerita tentang masa
lalu, harapan masa depan. Tentang Tunjung Teja, Tentang Mas Eka, Ajo Aish,
Daffi, masa kecil papa, awal – awal rumah tangga papa – mama.
Masa kecil Icha begitu
dekat dengan Papa, tiap malam selalu ada adegan cipika cipiki papa mama jelang
tidur, menjelang menstruasi, kegiatan itu terhenti.
Masa – masa alay
sebagai anak SMA hingga kuliah adalah masa Icha lebih sering berbeda pendapat
dengan papa. Bantingan pintu, adegan ngambeg yang gak jelas, tapi anehnya, tiap
lebaran selalu ada haru biru yang menyenangkan untuk dikenang.
Jelang lulus, kami
mulai berdamai, mengulang kembali kenangan bagaimana papa berperan dalam
memberi doa dan menyediakan waktu untuk membantu Icha menyelesaikan skripsi. Ah
Papa, entah bagaimana saat itu jika Icha merasa sendiri tanpa papa dan mama.
Jelang Icha menikah,
kami mulai sering berbeda pendapat lagi, puncaknya papa masuk Rumah Sakit. Ah pa,
Icha sering banget durhaka sama papa ya.
Begitu menikah, hubungan
Icha dan Papa kembali normal. Icha masih tinggal dirumah Papa – Mama selama 3
Bulan, setelah itu, Icha memutuskan untuk keluar dari rumah mama. Masa – masa itu
Icha belajar mandiri, jadi ingat semua nasihat papa ketika Icha mau dilamar Mas
Eka, percakapan anak perempuan dengan ayahnya selama 2 jam, memandang bagaimana
papa dan mama menjalani pernikahan selama ini.
Hubungan kita makin
berarti ketika Icha pindah ke Tangerang, frekuensi bertemu yang sangat jarang
membuat kita makin memaknai tiap detik pertemuan keluarga, bagi Icha, masa –
masa ketemu keluarga jadi sesuatu yang sangat penting.
Memaknai tiap
percakapan, tiap canda, ah pa, sampai saat ini Icha masih sering membayangkan
senyuman papa tiap kali kita bercanda, bahkan senyum terakhir papa di rumah
sakit.
Pa,,, banyak cerita,
yang mungkin ga akan pernah habis, Icha takut kehilangan ingatan terhadap itu
semua, semoga tidak. Pa, kami merindukanmu… Sangat.
Tunjung Teja, 9 Mei 2015.
_MST_