Sabtu, 09 Mei 2015

Masih Tentang Papa

Rasanya ingin memuaskan diri dengan menangis sekencang mungkin, tapi, tiap kali itu pula teringat bahwa menjatuhkan air mata akan memberatkan papa tercinta disana.

Duka ini akan menumpuk terus di hati.

Luka, sedih, sakit dan kehilangan.

Tapi ini yang akan kami hadapi.

Kemarin Ajo Aish WA Icha, bercerita tentang mimpi beberapa kerabat yang didatangi Papa dengan pesan yang nyaris sama, agar mama tidak terlalu bersedih, tidak terlalu berpikiran yang berat. Agar Aish menjaga mimpi dan cita – cita Daffi.

Satu pertanyaan yang terselip, kenapa bukan kami?

Kami amat merindukannya, berharap ada sekelebat harapan akan Papa. Mencari kenangan Papa ditiap cerita kerabat. Tentang masa lalu yang membuat dada seketika sesak.
Kami merindukannya. Icha merindukan Papa.

Rindu bercerita disore hari setiap pulang kerumah Mama. Bertiga dikamar mama, bercerita tentang masa lalu, harapan masa depan. Tentang Tunjung Teja, Tentang Mas Eka, Ajo Aish, Daffi, masa kecil papa, awal – awal rumah tangga papa – mama.

Masa kecil Icha begitu dekat dengan Papa, tiap malam selalu ada adegan cipika cipiki papa mama jelang tidur, menjelang menstruasi, kegiatan itu terhenti.

Masa – masa alay sebagai anak SMA hingga kuliah adalah masa Icha lebih sering berbeda pendapat dengan papa. Bantingan pintu, adegan ngambeg yang gak jelas, tapi anehnya, tiap lebaran selalu ada haru biru yang menyenangkan untuk dikenang.

Jelang lulus, kami mulai berdamai, mengulang kembali kenangan bagaimana papa berperan dalam memberi doa dan menyediakan waktu untuk membantu Icha menyelesaikan skripsi. Ah Papa, entah bagaimana saat itu jika Icha merasa sendiri tanpa papa dan mama.

Jelang Icha menikah, kami mulai sering berbeda pendapat lagi, puncaknya papa masuk Rumah Sakit. Ah pa, Icha sering banget durhaka sama papa ya.

Begitu menikah, hubungan Icha dan Papa kembali normal. Icha masih tinggal dirumah Papa – Mama selama 3 Bulan, setelah itu, Icha memutuskan untuk keluar dari rumah mama. Masa – masa itu Icha belajar mandiri, jadi ingat semua nasihat papa ketika Icha mau dilamar Mas Eka, percakapan anak perempuan dengan ayahnya selama 2 jam, memandang bagaimana papa dan mama menjalani pernikahan selama ini.

Hubungan kita makin berarti ketika Icha pindah ke Tangerang, frekuensi bertemu yang sangat jarang membuat kita makin memaknai tiap detik pertemuan keluarga, bagi Icha, masa – masa ketemu keluarga jadi sesuatu yang sangat penting.

Memaknai tiap percakapan, tiap canda, ah pa, sampai saat ini Icha masih sering membayangkan senyuman papa tiap kali kita bercanda, bahkan senyum terakhir papa di rumah sakit.


Pa,,, banyak cerita, yang mungkin ga akan pernah habis, Icha takut kehilangan ingatan terhadap itu semua, semoga tidak. Pa, kami merindukanmu… Sangat.

Tunjung Teja, 9 Mei 2015.

_MST_

Senin, 04 Mei 2015

Nyasar di Pandeglang

Bismillah...

Kemarin Sabtu, sehabis 40 harian papa, Icha dan Mas Eka memutuskan untuk pulang di Hari Ahad, 26 April 2015. Sebelum pulang, kami sengaja ke undangan pernikahan teman kuliah Mas Eka diPondok Indah.

Jam 11.00, kami sampai, setelah makan, nyemil gubukan, dan reuni singkat, kami pulang ke Serang.
Jam 13.30, kami sampai di Kebon Nanas, Tangerang.

14.15, kami sampai di Serang, rasanya melegakan kembali kerumah dan lari dari pahitnya kenangan di Jakarta.

Sudah senang - senang sampai Serang, sampai pintu rumah dibuka baru sadar kalau Tas Pakaian kotor tertinggal di Bis asli prima. Entah ide dari mana, kami memutuskan untuk mengejar bis itu sampai ke Labuan, Banten.

Bukan jarak yang dekat. Hampir 70 kilo dari Kota Serang. Berbekal kesotoyan parah, kami mengikuti jalur bis Murni Jaya dan Asli Prima.

Berangkat jam 15.00, kami sampai di Labuan Banten, jam 17.00.

Sejujurnya, Icha bingung dan takut membayangkan track pulang. Jauh booooook.
Beberapa kali Icha bilang ke Ayah, Mas, kita pulang aja yuk, aku udah ikhlasin kok barang - barang ditas itu.

Dan Mas Eka berkeras, kami tetap akan ke pool Asli Prima di Pandeglang. Oh My...

Perjalanan pergi lumayan lancar, karena kami hanya mengikuti jalur jalan nasional yang lumayan ramai sama motor dan mobil, agak ketar - katir di begal sih, tapi kan ini rame ya.

Perjalanan pulang yang lumayan bikin traumatis.

Sebelum pulang, kami shalat Ashar (yang sangat tertunda) di POM Bensin Labuan. Selesai, aktifkan GPS dan (dengan bodohnya, percaya 100% sama GPS), nyiahahahaha, ini kesalahan kami.

GPS menuntun kami untuk melalui jalan memotong melalui Mandalawangi, lalu tembus di Ciomas dan Palima kemudian KP3B baru sampai ke rumah.

Masalahnya, yang tidak digambarkan oleh GPS itu, jalan memotong yang disarankan oleh GPS itu ternyata jalur memotong dari jalur normal biasanya.

Melewati kaki Gunung Karang, keluar masuk hutan, jauh dari rumah penduduk, dan saat itu, menjelang malam. 
Ini jalur pulang kami, dari mandalawangi sampai Ciomas itu hutan loh




















Menjelang jalur mendaki setelah belok dari jalur utama, Mas Eka sempat bertanya.
"Bunda yakin nih Bun lewat sini? Kok jalurnya gini?"
"Yakin Yah, GPSnya nunjukkin gitu kok."

Teruslah kami berjalan, makin jauh kondisi makin sepi. Si Ayah makin resah, mau balik ke jalur utama juga sudah makin jauh. Hingga maghribpun tiba. Kami memutuskan untuk menunda maghrib hingga yakin kami berada dimana.

Sepanjang jalan makin sepi, makin gelap dan makin sedikit orang yang kami temui. Sejujutrnya, kami belum pernah melalui jalan sesepi ini. Itu adalah perjalanan paling mencekam yang pernah kami lalui. Bingung mau bertanya ke siapa.

Sampai Pasar Ciomas,pilihan jalan adalah lurus (yang harusnya kami pilih) atau belok kiri (yang ternyata membuat perjalanan kami makin jauh dan makin mencekam)

Si Ayah melihat GPS dan tidak yakin melanjutkan perjalanan lurus, cuma gara - gara tertulis jalan Mancak. Ayah yang sudah mendengar betapa legendarisnya Mancak dengan begalnya memilih ambil jalur kiri yang ternyata jalannya parah, berlubang, dan sepi sekali.

Sepanjang 12 kilo meter, kami tempuh hanya berdua, sesekali melalui permukiman penduduk. Sempat membeli bensin dan menanyakan jalan. Hingga akhirnya kami keluar di Cadasari.

Belum pernah dalam hidup Icha, Icha mengalami perjalanan yang membuat Icha begitu diam. Sejujurnya tertekan, ketakutan, dan bingung.

Sampai rumah, kami tidak mau membicarakannya, shalat maghrib dirapel Isya' berjamaah, cari makan dan tidur.

Besok sepulangnya kami dari bekerja, kami baru mencari tahu kemana kami "nyasar".
Disasarkan oleh GPS dan lebih percaya GPS ketimbang bertanya pada penduduk lokal.

Pelajaran berharga yang mengubah kami. Sekarang, kami tetap mengandalkan GPS, tetapi begitu ragu, kami tidak ragu bertanya.

Suatu saat, Icha berniat jalan ke sana lagi, diwaktu terang hingga tahu arah.

Serang...

Jumat, 17 April 2015

Papa..

Berceritalah untuk melegakan, untuk melepaskan.

Bismillah…

Sudah 9 hari berlalu dan rasa sakitnya masih basah. Membiru tanpa sebab, nyeri tanpa bertepi.

Masih teringat jelas runtutan jam perjam peristiwa itu.

Bagi Icha, semua dimulai dari sebuah berita di BBM yang dikirim Ajo ke Grup Keluarga Pak Pudin.

16 Maret jam 11.34 : Bapak Pudin dirawat di Budhi Asih kamar 507.

Singkat.

Sebagai anak, Icha langsung telepon mama, dari seberang telepon mama meyakinkan Icha untuk tidak usah datang ke Jakarta. Sakit ringan, katanya.

Setengah kalut, Icha memutuskan memaksa izin, walau pekan kemarin sudah tidak masuk 3 hari karena sakit ke Kepala Sekolah. Untung ada Bu Ida, guru yang menjadi among di masa induksi CPNS Icha.

Bergegas, nyaris ngebut pulang dari Tunjung Teja ke Kota Serang.

Jam 13.00, Icha berangkat ke Jakarta dari pintu tol Serang Timur.

Jam 15.35, Icha sampai di UKI, menerobos turun, lalu linglung sejenak karena bingung untuk pertama kalinya turun di pinggir TOL UKI.

Jam 16.00 Icha sampai di RSUD Budhi Asih.
Tertahan masuk, walau akhirnya sempat bertemu papa 5 menit, sebelum akhirnya gantian dengan Mas Eka (yang berangkat dari Tangerang) menjaga papa.

Sejam kurang, Icha diluar rumah sakit Budhi Asih. Shalat, beli cemilan untuk papa, beli minum, dan ketika bertemu mama, ngobrol sambil menunggu pintu terbuka.

Ketika jam 17.00, Icha masuk sama mama, papa sangat segar, duduk, tertawa, bercanda, dan sempat menasehati Icha untuk tidak terlalu sering izin ke sekolah, mengingat status Icha yang masih baru menjadi CPNS. Papa bilang, toh Cuma sakit sedikit, tidak perlu sampai Icha mengorbankan waktu sekian banyak untuk ke Jakarta.

Jam 17. 45, Mama menyuruh Icha pulang ke Tangerang agar besok lebih mudah ke Serang, tapi Mas Eka berkeras, kami menginap di rumah mama.

Setelahnya, kami sampai rumah mama, shalat, makan malam sama Daffi. Dipikiran Icha, berdasarkan apa yang Icha lihat, penyakit papa termasuk ringan, prediksi Icha, seminggu lah maksimal papa akan dirawat. Ternyata Allah menakdirkan lain untuk kehidupan kami.

Jelang tidur, Icha telepon mama, berdasarkan kesepakatan sore tadi, Ajo Aish yang akan berjaga dirumah sakit malam ini, bertanya dimana mama. Mama mengabarkan sedang ditaksi menuju pulang, papa sempat kejang tadi.

Mama pulang kemudian meminta Mas Eka untuk menelepon Ajo Aish kerumah sakit. Ajo mengabarkan papa tidak sadarkan diri.

Panik.

Jam 21.30, kami semua kembali kerumah sakit.


Waktu mulai melambat ketika Icha menulis ini.

Semua adegan dirumah sakit kembali membayang. Sampai rumah sakit, kami melihat papa dirubung paramedis. Di uap, di pompa dahaknya. Nyaris histeris Icha melihatnya. Berkali – kali bertanya pada udara, kok papa jadi gini? Tadi ditinggal masih baik – baik saja.


Panik, bingung, berusaha tenang agar pikiran tidak terlalu kalut. Dikasih penjelasan dari dokter IGD (untuk catatan, papa sudah masuk ke Kamar Rawat sejak pertama masuk ke RSUD Budhi Asih tapi belum diperiksa – periksa hingga detik meninggalnya papa). Tanda tangan persetujuan memasang selang nafas. Berkali – kali Icha bertanya ke dokternya, apa kemungkinan terburuknya, tapi penjelasan dokter membuat Icha membayangkan bahwa ini masa kritis yang bisa dilewati papa. Papa akan segera sadar, besok Icha akan bercengkrama lagi dengan papa.

Dokter IGD ini sempat memberi penjelasan, bahwa papa tidak bisa masuk ICU, karena kemungkinan, ingat 
ya, semua masih KEMUNGKINAN, papa flek paru. RSUD Budhi Asih tidak menerima pasien Flek Paru di ICUnya.

Selesai disedot dahak papa, papa mulai dipasang selang untuk bernafas. Icha, Mas Eka, Daffi, dan Mama mengerubungi papa. Mama memijat – mijat kaki papa, kami masih berpikir dan mungkin, tanpa kami sadari, kami berharap, semua ini berlalu. Papa kembali sadar.

Tidak lama, paramedis yang memasang infus papa pergi sebentar keruang perawat, Icha mengerenyit dan berkata, kok gini doing, ini belum selesaikan mas?

Ga lama, paramedis kembali datang, mungkin mulai menyadari denyut jantung papa mulai melemah. Segera berlari lagi keruang perawat dan memanggil dokter. Mama mulai histeris ketika dokter mulai menekan – nekan jantung papa, memanggil – manggil papa. Icha menuntun mama keluar lalu kembali, sangat pelan ketika kesadaran itu datang, sadar bahwa perut papa berhenti kembang kempis.

Berbisik ke Aish, Jo, Lo liat deh perut papa, ga ada nafasnya. Masih menahan histeria yang mulai meledak dalam hati, masih berharap ini berlalu. Berharap papa kembali dari krisisnya.

Ketika dokter mengambil senter dan memeriksa tanda kehidupan di mata papa, saat itu, Icha berlari keluar dan meledak. Menangis, dijendela lantai 5, memandang langit dan menghiba, berharap keajaiban terjadi, tidak lama Daffi datang, berdua, kami memandangi langit hitam pekat yang mengabur dimata kami. Benar – benar berharap keajaiban datang. Berharap adegannya akan berubah.

5 menit kemudian, dokter keluar dari kamar 507, memanggil Icha dengan lambaian tangan, saat itulah Icha merasa langkah Icha melayang, pelan, kesadaran Icha menyeruak, tapi masih kalah dengan harapan bahwa ini semua akan berubah.

Bu, saya sudah berusaha, tapi bapak sudah tidak ada.

Dan tangispun meledak dilorong rumah sakit, mama kembali histeris, tanpa sadar, sambil menangis Icha mengulang – ulang kalimat yang sama, Kok akhirnya gini Pa?

Ajo tersungkur dilantai, Daffi berdiri menangis, Mas Eka, menyadar di pintu kamar. Dukanya masih mengaung hingga detik ini.

Dan semua berjalan gamang. Mama menangis sehingga harus dituntun Aish hingga ke taksi. Mas Eka mengurus semua administrasi hingga keruang jenazah. Dan Icha jongkok disamping jenazah papa. Masih mengulang pertanyaan yang sama ditemani kilasan memori, harapan, dan cita – cita tentang papa.

Tidak lama, Mas Eka kembali, berdua, kemudian bertiga, kami mengurus barang – barang yang sempat dibawa dari rumah sore tadi. Sementara papa sedang diurus jenazahnya untuk dibawa ke kamar jenazah. 

Kemudian Uncu datang.

Sampai dikamar jenazah, Mas Eka menangis meraung, baru kali itu Icha melihat Mas Eka menangis meraung seperti anak kecil dan memanggil – manggil papa. Tegarnya luluh saat itu. Hingga akhirnya jenazah papa dimasukkan ke ambulance. Icha dan Mas Eka ikut ambulance. Rasanya aneh mendengar sirene Ambulance yang membawa jenazah orang yang jelas – jelas kami kenal.

Jarak terasa amat jauh.

Sampai rumah susun, Satpam rumah susun membuka jalan untuk memudahkan ambulance masuk. Jenazah papa disemayamkan di koridor lantai 1menunggu Pak Lek (Adik papa yang di Padang) datang dari Padang. 

Jam 9.00 Pagi, kami mulai resah karena Pak Lek belum juga datang, Alhamdulillah, tidak lama Pak Lek datang, mengingat ekspresi Pak Lek begitu tiba sungguh menimbulkan nyeri, terakhir mereka bertemu Desember 2012, saat Icha menikah. Dan sekarang, mereka bertemu dalam kenyataan satu sudah mendahului yang lain.

Menjelang dimandikan, Ajo Aish menangis histeris melihat Jenazah Papa akan dimandikan. Sudah 2 anak Papa yang kemudian meledak, Icha sempat bertanya dalam hati, kapan kesedihan dan kehilangan ini meledak sebegitu besar? 5 hari kemudian, Icha mengalaminya.

Menjalang dishalatkan, Masji di Rumah Susun mulai ramai. Alhamdulillah Pa, banyak yang menyalatkan, lebih dari 60 orang Icha hitung, lega. Jam 11.00 siang, prosesi pemakaman dilakukan.

Jenazah lelaki yang membesarkan Icha dengan segala pengorbanannya dikebumikan. Tidak ada reaksi berlebihan. Tidak ada tangisan lebay. Kesadaran menguasai, raungan tangis akan menghambat perjalanan papa.

Disinilah kami, tertinggal. Menunggu urutan, melakukan yang terbaik setelah kepergian Papa. Hanya mampu mengirim doa, yang terkadang terasa kurang melegakan.


Ditulis di Serang, 25 Maret 2015
Dilanjutkan di Serang 6 April 2015
Dilanjutkan dan di publish di Tunjung Teja, 17 April 2015

Kami akan menyusul Pa, entah kapan, tapi urusan Papa didunia, biar kami yang melanjutkan. Semoga Allah melapangkan tempat Papa menunggu sekarang, meneranginya, menjauhkan Papa dari siksa kubur, Semoga kelak, Allah meridhoi kita hingga berkumpul di Jannah-Nya


Kamis, 09 April 2015

Puisi untuk Papa

Pa, kata orang, cinta tak bertepi itu milik orang tua terhadap anak…
Dan kami merasakan itu dari dirimu…
Pa, kata orang, kehilangan itu menyakitkan…
Dan kami mengalaminya sekarang…
Maafkan kami Pa, karena tidak mampu membalas pengorbanan, cinta, dan segala ketulusan dari Papa…
Maafkan kami atas segala janji terucap yang belum mampu kami wujudkan…

Setelah kepergian papa, ada kosong yang tidak akan kami ganti dengan siapapun,
Setelah kepergian papa, kami memulai lagi dengan separuh sayap yang tidak utuh.

Terima kasih karena tidak menyerah menjalani hidup demi kami.
Terima kasih karena telah memberikan kami bekal kehidupan yang cukup

Yang tertinggal sekarang didunia, biar kami yang meneruskan
Yang Papa khawatirkan biar kami yang melanjutkan

Kita berpisah didunia, semoga Allah menyatukan keluarga kita utuh di SurgaNya atas KehendakNya.

Papa waktu menikahkan putri satu - satunya :D


#ketikaIchamerindu

Kamis, 05 Maret 2015

...Pindah Lagi... Tangerang To Serang

Bismillah, tanggal 17 Februari 2015, akhirnya keputusan final keluar.
Penempatan Icha di SMKN 1 Tunjung Teja.
Dimana ituuuh?

See This! 
    

Awalnya kami berniat untuk pindah ke Perumahan Citra Gading. Soalnya nenek Icha ada yang tinggal disana, tapi Takdir ALLAH berkata lain, rumah yang kita incer katanya sudah di ambil orang. Jadilah kami sedikit kelabakan mencari kontrakan baru. Dapatlah di sekitar Banjarsari.

Perjalanan hidup memang tidak selancar di Jalan Tol Serang - Tangerang. Mulai dari kekurangan uang untuk pindahan hingga ada saja insiden - insiden yang bikin nyesek.


Mulai dari pembagian SK hingga akhirnya masuk tanggal 2 Maret, Icha 2 kali harus bolak balik ke BKD untuk pembekalan. Cuma punya sisa waktu kurang dari seminggu, tapi 2 hari dipakai untuk bolak balik ke BKD, sehari harus ke Jakarta, jadi total hanya ada 3 hari untuk packing barang - barang.

Tanggal 28 Februari kami pindah. Untuk pertama kalinya, Icha pindahan diantar mertua dan orang tua sekaligus. 

Banyak pengalaman nyaris tidak terlupakan, misalnya, cuma dijalan serang aja Icha pernah temui ular panjang dan besar terlinda mobil ples motor. Dan di Serang juga Icha lihat pengendara mobil dan motor kompak ngebut ga pakai akal. Dan sepertinya, Icha juga mulai ikut - ikutan ngebut - ngebutan kayak mereka deh. Ahahahha.

Perjalanan masih panjang. Masih 60 bulan untuk diizinkan pindah dari sekolah ini. Bismillah

Jumat, 30 Januari 2015

Curhat

Bismillah..

Menatap layar kosong yang nyaris ga berisi apa - apa.
Hari ini temanya menggalau, rasa sakitnya entah mengapa begitu bertubi.

Sudah hampir 3 pekan terkakhir bolak - balik rumah sakit lagi. Kalau dulu untuk antar Mak Uwo, sekarang untuk antar Ayah Uwo.

Sejak resign dari NF, Icha nyaris jadi IRT. Tidak melakukan banyak hal yang berarti untuk orang lain. Pun suami Icha mengeluh tentang ketidak bergunaan Icha akhir - akhir ini.

Rutinitasnya IRT sebenarnya berat. Menyita waktu yang jauh lebih banyak dari Wanita Pekerja. Karena kegiatannya berulang dan terus - menerus. Tapi cenderung mendatangkan kejenuhan terutama untuk keluarga yang belum ada anak seperti Icha.

Ada haru biru yang membuat Icha mampu babak belur dilanda rasa itu. Ada kenangan ketika masih bolak - balik antar Mak Uwo.

Keadaan rumah makin membuat Icha ga nyaman dengan ketidak adaan pekerjaan. Mungkin ini masa - masa dimana pernikahan Icha diuji lagi. Baru kemarin dengan jelas suami Icha berkata,
"Pantas kita belum punya anak, gara - gara kamu itu pemarah."

Jujur, rasanya kecewa dengar suami ngomong begitu. Padahal, kita sama - sama tahu apa yang membuat anak itu masih ada diawang - awang.

Malam ini pun beliau pulang telat dan dengan enaknya berkata,

"Jadi Isteri Cerewet banget sih."

Satu lagi luka tertoreh, baiklah, kita ikuti permainan beliau. Jangan menyapa, jangan bicara, jangan pedulikan apapun yang dilakukannya. Jika khawatir itu diartikan cerewet, mungkin tidak peduli adalah gambaran ideal seorang isteri.


#Cilenggang, 30 Januari 2015

31 Januari besok Bang Daffa dan Ayah Uwo tambah umurnya. Makin berkah ya. Peluk Cinta Uni Icha

::))