Berceritalah untuk melegakan,
untuk melepaskan.
Bismillah…
Sudah 9 hari berlalu dan rasa
sakitnya masih basah. Membiru tanpa sebab, nyeri tanpa bertepi.
Masih teringat jelas runtutan jam
perjam peristiwa itu.
Bagi Icha, semua dimulai dari
sebuah berita di BBM yang dikirim Ajo ke Grup Keluarga Pak Pudin.
16 Maret jam 11.34 : Bapak Pudin
dirawat di Budhi Asih kamar 507.
Singkat.
Sebagai anak, Icha langsung
telepon mama, dari seberang telepon mama meyakinkan Icha untuk tidak usah
datang ke Jakarta. Sakit ringan, katanya.
Setengah kalut, Icha memutuskan
memaksa izin, walau pekan kemarin sudah tidak masuk 3 hari karena sakit ke
Kepala Sekolah. Untung ada Bu Ida, guru yang menjadi among di masa induksi CPNS
Icha.
Bergegas, nyaris ngebut pulang
dari Tunjung Teja ke Kota Serang.
Jam 13.00, Icha berangkat ke
Jakarta dari pintu tol Serang Timur.
Jam 15.35, Icha sampai di UKI,
menerobos turun, lalu linglung sejenak karena bingung untuk pertama kalinya
turun di pinggir TOL UKI.
Jam 16.00 Icha sampai di RSUD
Budhi Asih.
Tertahan masuk, walau akhirnya
sempat bertemu papa 5 menit, sebelum akhirnya gantian dengan Mas Eka (yang
berangkat dari Tangerang) menjaga papa.
Sejam kurang, Icha diluar rumah
sakit Budhi Asih. Shalat, beli cemilan untuk papa, beli minum, dan ketika
bertemu mama, ngobrol sambil menunggu pintu terbuka.
Ketika jam 17.00, Icha masuk sama
mama, papa sangat segar, duduk, tertawa, bercanda, dan sempat menasehati Icha
untuk tidak terlalu sering izin ke sekolah, mengingat status Icha yang masih
baru menjadi CPNS. Papa bilang, toh Cuma sakit sedikit, tidak perlu sampai Icha
mengorbankan waktu sekian banyak untuk ke Jakarta.
Jam 17. 45, Mama menyuruh Icha
pulang ke Tangerang agar besok lebih mudah ke Serang, tapi Mas Eka berkeras,
kami menginap di rumah mama.
Setelahnya, kami sampai rumah
mama, shalat, makan malam sama Daffi. Dipikiran Icha, berdasarkan apa yang Icha
lihat, penyakit papa termasuk ringan, prediksi Icha, seminggu lah maksimal papa
akan dirawat. Ternyata Allah menakdirkan lain untuk kehidupan kami.
Jelang tidur, Icha telepon mama,
berdasarkan kesepakatan sore tadi, Ajo Aish yang akan berjaga dirumah sakit
malam ini, bertanya dimana mama. Mama mengabarkan sedang ditaksi menuju pulang,
papa sempat kejang tadi.
Mama pulang kemudian meminta Mas
Eka untuk menelepon Ajo Aish kerumah sakit. Ajo mengabarkan papa tidak sadarkan
diri.
Panik.
Jam 21.30, kami semua kembali
kerumah sakit.
Waktu mulai melambat ketika Icha
menulis ini.
Semua adegan dirumah sakit
kembali membayang. Sampai rumah sakit, kami melihat papa dirubung paramedis. Di
uap, di pompa dahaknya. Nyaris histeris Icha melihatnya. Berkali – kali
bertanya pada udara, kok papa jadi gini? Tadi ditinggal masih baik – baik saja.
Panik, bingung, berusaha tenang
agar pikiran tidak terlalu kalut. Dikasih penjelasan dari dokter IGD (untuk
catatan, papa sudah masuk ke Kamar Rawat sejak pertama masuk ke RSUD Budhi Asih
tapi belum diperiksa – periksa hingga detik meninggalnya papa). Tanda tangan
persetujuan memasang selang nafas. Berkali – kali Icha bertanya ke dokternya,
apa kemungkinan terburuknya, tapi penjelasan dokter membuat Icha membayangkan
bahwa ini masa kritis yang bisa dilewati papa. Papa akan segera sadar, besok
Icha akan bercengkrama lagi dengan papa.
Dokter IGD ini sempat memberi
penjelasan, bahwa papa tidak bisa masuk ICU, karena kemungkinan, ingat
ya,
semua masih KEMUNGKINAN, papa flek paru. RSUD Budhi Asih tidak menerima pasien
Flek Paru di ICUnya.
Selesai disedot dahak papa, papa
mulai dipasang selang untuk bernafas. Icha, Mas Eka, Daffi, dan Mama
mengerubungi papa. Mama memijat – mijat kaki papa, kami masih berpikir dan
mungkin, tanpa kami sadari, kami berharap, semua ini berlalu. Papa kembali
sadar.
Tidak lama, paramedis yang
memasang infus papa pergi sebentar keruang perawat, Icha mengerenyit dan
berkata, kok gini doing, ini belum selesaikan mas?
Ga lama, paramedis kembali
datang, mungkin mulai menyadari denyut jantung papa mulai melemah. Segera
berlari lagi keruang perawat dan memanggil dokter. Mama mulai histeris ketika
dokter mulai menekan – nekan jantung papa, memanggil – manggil papa. Icha menuntun
mama keluar lalu kembali, sangat pelan ketika kesadaran itu datang, sadar bahwa
perut papa berhenti kembang kempis.
Berbisik ke Aish, Jo, Lo liat deh
perut papa, ga ada nafasnya. Masih menahan histeria yang mulai meledak dalam
hati, masih berharap ini berlalu. Berharap papa kembali dari krisisnya.
Ketika dokter mengambil senter
dan memeriksa tanda kehidupan di mata papa, saat itu, Icha berlari keluar dan
meledak. Menangis, dijendela lantai 5, memandang langit dan menghiba, berharap
keajaiban terjadi, tidak lama Daffi datang, berdua, kami memandangi langit
hitam pekat yang mengabur dimata kami. Benar – benar berharap keajaiban datang.
Berharap adegannya akan berubah.
5 menit kemudian, dokter keluar
dari kamar 507, memanggil Icha dengan lambaian tangan, saat itulah Icha merasa
langkah Icha melayang, pelan, kesadaran Icha menyeruak, tapi masih kalah dengan
harapan bahwa ini semua akan berubah.
Bu, saya sudah berusaha, tapi
bapak sudah tidak ada.
Dan tangispun meledak dilorong
rumah sakit, mama kembali histeris, tanpa sadar, sambil menangis Icha mengulang
– ulang kalimat yang sama, Kok akhirnya gini Pa?
Ajo tersungkur dilantai, Daffi
berdiri menangis, Mas Eka, menyadar di pintu kamar. Dukanya masih mengaung
hingga detik ini.
Dan semua berjalan gamang. Mama
menangis sehingga harus dituntun Aish hingga ke taksi. Mas Eka mengurus semua
administrasi hingga keruang jenazah. Dan Icha jongkok disamping jenazah papa.
Masih mengulang pertanyaan yang sama ditemani kilasan memori, harapan, dan cita
– cita tentang papa.
Tidak lama, Mas Eka kembali,
berdua, kemudian bertiga, kami mengurus barang – barang yang sempat dibawa dari
rumah sore tadi. Sementara papa sedang diurus jenazahnya untuk dibawa ke kamar
jenazah.
Kemudian Uncu datang.
Sampai dikamar jenazah, Mas Eka
menangis meraung, baru kali itu Icha melihat Mas Eka menangis meraung seperti
anak kecil dan memanggil – manggil papa. Tegarnya luluh saat itu. Hingga
akhirnya jenazah papa dimasukkan ke ambulance. Icha dan Mas Eka ikut ambulance.
Rasanya aneh mendengar sirene Ambulance yang membawa jenazah orang yang jelas –
jelas kami kenal.
Jarak terasa amat jauh.
Sampai rumah susun, Satpam rumah susun membuka jalan untuk memudahkan ambulance masuk. Jenazah papa disemayamkan di koridor lantai 1menunggu Pak Lek (Adik papa yang di Padang) datang dari Padang.
Jam 9.00 Pagi, kami mulai resah karena Pak Lek belum juga datang, Alhamdulillah, tidak lama Pak Lek datang, mengingat ekspresi Pak Lek begitu tiba sungguh menimbulkan nyeri, terakhir mereka bertemu Desember 2012, saat Icha menikah. Dan sekarang, mereka bertemu dalam kenyataan satu sudah mendahului yang lain.
Menjelang dimandikan, Ajo Aish menangis histeris melihat Jenazah Papa akan dimandikan. Sudah 2 anak Papa yang kemudian meledak, Icha sempat bertanya dalam hati, kapan kesedihan dan kehilangan ini meledak sebegitu besar? 5 hari kemudian, Icha mengalaminya.
Menjalang dishalatkan, Masji di Rumah Susun mulai ramai. Alhamdulillah Pa, banyak yang menyalatkan, lebih dari 60 orang Icha hitung, lega. Jam 11.00 siang, prosesi pemakaman dilakukan.
Jenazah lelaki yang membesarkan Icha dengan segala pengorbanannya dikebumikan. Tidak ada reaksi berlebihan. Tidak ada tangisan lebay. Kesadaran menguasai, raungan tangis akan menghambat perjalanan papa.
Disinilah kami, tertinggal. Menunggu urutan, melakukan yang terbaik setelah kepergian Papa. Hanya mampu mengirim doa, yang terkadang terasa kurang melegakan.
Ditulis di Serang, 25 Maret 2015
Dilanjutkan di Serang 6 April 2015
Dilanjutkan dan di publish di Tunjung Teja, 17 April 2015
Kami akan menyusul Pa, entah kapan, tapi urusan Papa didunia, biar kami yang melanjutkan. Semoga Allah melapangkan tempat Papa menunggu sekarang, meneranginya, menjauhkan Papa dari siksa kubur, Semoga kelak, Allah meridhoi kita hingga berkumpul di Jannah-Nya