Senin, 04 Mei 2015

Nyasar di Pandeglang

Bismillah...

Kemarin Sabtu, sehabis 40 harian papa, Icha dan Mas Eka memutuskan untuk pulang di Hari Ahad, 26 April 2015. Sebelum pulang, kami sengaja ke undangan pernikahan teman kuliah Mas Eka diPondok Indah.

Jam 11.00, kami sampai, setelah makan, nyemil gubukan, dan reuni singkat, kami pulang ke Serang.
Jam 13.30, kami sampai di Kebon Nanas, Tangerang.

14.15, kami sampai di Serang, rasanya melegakan kembali kerumah dan lari dari pahitnya kenangan di Jakarta.

Sudah senang - senang sampai Serang, sampai pintu rumah dibuka baru sadar kalau Tas Pakaian kotor tertinggal di Bis asli prima. Entah ide dari mana, kami memutuskan untuk mengejar bis itu sampai ke Labuan, Banten.

Bukan jarak yang dekat. Hampir 70 kilo dari Kota Serang. Berbekal kesotoyan parah, kami mengikuti jalur bis Murni Jaya dan Asli Prima.

Berangkat jam 15.00, kami sampai di Labuan Banten, jam 17.00.

Sejujurnya, Icha bingung dan takut membayangkan track pulang. Jauh booooook.
Beberapa kali Icha bilang ke Ayah, Mas, kita pulang aja yuk, aku udah ikhlasin kok barang - barang ditas itu.

Dan Mas Eka berkeras, kami tetap akan ke pool Asli Prima di Pandeglang. Oh My...

Perjalanan pergi lumayan lancar, karena kami hanya mengikuti jalur jalan nasional yang lumayan ramai sama motor dan mobil, agak ketar - katir di begal sih, tapi kan ini rame ya.

Perjalanan pulang yang lumayan bikin traumatis.

Sebelum pulang, kami shalat Ashar (yang sangat tertunda) di POM Bensin Labuan. Selesai, aktifkan GPS dan (dengan bodohnya, percaya 100% sama GPS), nyiahahahaha, ini kesalahan kami.

GPS menuntun kami untuk melalui jalan memotong melalui Mandalawangi, lalu tembus di Ciomas dan Palima kemudian KP3B baru sampai ke rumah.

Masalahnya, yang tidak digambarkan oleh GPS itu, jalan memotong yang disarankan oleh GPS itu ternyata jalur memotong dari jalur normal biasanya.

Melewati kaki Gunung Karang, keluar masuk hutan, jauh dari rumah penduduk, dan saat itu, menjelang malam. 
Ini jalur pulang kami, dari mandalawangi sampai Ciomas itu hutan loh




















Menjelang jalur mendaki setelah belok dari jalur utama, Mas Eka sempat bertanya.
"Bunda yakin nih Bun lewat sini? Kok jalurnya gini?"
"Yakin Yah, GPSnya nunjukkin gitu kok."

Teruslah kami berjalan, makin jauh kondisi makin sepi. Si Ayah makin resah, mau balik ke jalur utama juga sudah makin jauh. Hingga maghribpun tiba. Kami memutuskan untuk menunda maghrib hingga yakin kami berada dimana.

Sepanjang jalan makin sepi, makin gelap dan makin sedikit orang yang kami temui. Sejujutrnya, kami belum pernah melalui jalan sesepi ini. Itu adalah perjalanan paling mencekam yang pernah kami lalui. Bingung mau bertanya ke siapa.

Sampai Pasar Ciomas,pilihan jalan adalah lurus (yang harusnya kami pilih) atau belok kiri (yang ternyata membuat perjalanan kami makin jauh dan makin mencekam)

Si Ayah melihat GPS dan tidak yakin melanjutkan perjalanan lurus, cuma gara - gara tertulis jalan Mancak. Ayah yang sudah mendengar betapa legendarisnya Mancak dengan begalnya memilih ambil jalur kiri yang ternyata jalannya parah, berlubang, dan sepi sekali.

Sepanjang 12 kilo meter, kami tempuh hanya berdua, sesekali melalui permukiman penduduk. Sempat membeli bensin dan menanyakan jalan. Hingga akhirnya kami keluar di Cadasari.

Belum pernah dalam hidup Icha, Icha mengalami perjalanan yang membuat Icha begitu diam. Sejujurnya tertekan, ketakutan, dan bingung.

Sampai rumah, kami tidak mau membicarakannya, shalat maghrib dirapel Isya' berjamaah, cari makan dan tidur.

Besok sepulangnya kami dari bekerja, kami baru mencari tahu kemana kami "nyasar".
Disasarkan oleh GPS dan lebih percaya GPS ketimbang bertanya pada penduduk lokal.

Pelajaran berharga yang mengubah kami. Sekarang, kami tetap mengandalkan GPS, tetapi begitu ragu, kami tidak ragu bertanya.

Suatu saat, Icha berniat jalan ke sana lagi, diwaktu terang hingga tahu arah.

Serang...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar